A+ UNTUK CHIKA
Oleh: Rohani Syawaliah
Matahariku
Saat dentangan jantung berhenti
Tangan mendingin
Saat napas terdiam
Matahariku
Aku kedinginan
Bertemankan embun dan angin malam
Menusuk ke tulang-tulang
Matahariku
Aku anak malam yang lupa dengan siang
Bergelut bulan dan bintang
Mengental dengan kepekatan
Matahariku
Maafkan aku
Mengiamatkan siangmu, mengakhiri tugasmu menerangi bumi
Aku sendirian tanpamu
Bersama embun aku menjelajahi dunia
Menembus mega
Meniti daun talas dan bunga milik tetangga
Alarm jam yang bertengger di meja belajar yang dipenuhi kertas yang berserakan berteriak nyaring. Menyanyikan senandung sumbang. Mencoba membangunkan seonggok tulang yang dibaluti kulit yang tipis. Tak ada beda antara hidup dan mati. Sama-sama penuh keletihan menghadapi hidup. 06.00. masih bergelut dengan mimpi sisa semalam. Mengaduk waktu dengan sendok lelap. Masih ingin tidur dengan pelukan selimut. Suara berisik itu tak mengacaukan tidurnya. Matanya tak menunjukkan pembukaan. Rapat terkunci.
Mentari pagi yang baru selesai melentikkan bulu matanya mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya. Menggoda bumi yang tak lekang oleh cahaya yang menerpa. Dewi siang itu kemudian menyelusupkan tangan mungilnya ke jendela. Gorden menepi sedikit karena angin bersiul ke arahnya sehingga tangan sang dewi mampu menjangkau wajah gadis yang masih berselubung itu. Lelap. Selain alarm yang terus menyesakkan ruangan itu tak ada bunyi lain lagi.
Chika. Biasanya ia dipanggil seperti itu. Tubuhnya berukuran 157cm dengan berat badan 37kg. Rambutnya pendek. Matanya yang berwarna coklat yang masih bersembunyi di balik kelopak matanya yang tertutup rapat. Sejemput maha karya Yang Kuasa, menyiratkan keindahan yang tercipta dari sentuhan jari lentiknya. Satu di antaranya.
Tok! Tok! Tok!
Sebuah ketukan menggema di antara dengkuran halus milik Chika. Masih lelap. Niat bangun menguap begitu saja.
TOK! TOK! TOK! Ketukan itu berubah jadi gedoran yang cukup keras. Dilihat dari jarak paling dekat pun masih tak ada tanda-tanda kebangunan di sana. Chika masih rebah. Tak peduli nyamuk yang hinggap di beberapa bagian tubuhnya yang tak terkena matahari.
"Chika!"
Kyana terpaksa berteriak seperti demonstran yang sedang mengajukan aspirasi di jalanan. Gadis yang menempati kamar di sebelah kamar Chika mulai tak sabar. Mentari sudah terlalu tinggi melayang di angkasa. Sudah waktunya untuk bangun dan mandi.
"CHIKA!! BANGUN!!" teriakan Kyana semakin melengking. Memecahkan gendang telinga yang tak sanggup melawan tingginya. Pintu hampir luluh lantak oleh tangannya yang tak berbeda jauh dengan betisnya.
Geliat kecil di ranjang. Menjatuhkan selimut yang masih menggulung tubuhnya. Matanya terbuka. Coklat muda. Tangan kanannya meraih jam yang masih sibuk berteriak-teriak membangunkannya.
06.45?
Terloncat dengan segera dari ranjang. Meraih handuk di gantungan dan berlari keluar dari kamar menuju kamar mandi. Kyana hampir ditabraknya begitu saja. Untung masih sempat mengelak. Sudah mirip berkungfu saja. Gadis bertubuh tambun itu hanya menggelengkan kepalanya. Rutinitas yang masih terus berulang. Tapi ini kali yang paling parah. Biasanya tanpa teriakan pun Chika bisa bangun. Semalam seingatnya ia masih mendengar suara jemari gadis itu menari di komputernya. Entah mengetik apa sampai pagi buta.
07.17. Chika sudah berada di depan gang. Beberapa menit yang lalu ia baru saja tiba di sana. Dengan keadaan yang seadanya. Tanpa dandanan yang menarik. Bahkan ia hanya menyisir rambutnya. Ia hanya ingat hari ini ia harus berada di kelas Bu Yulia pukul 07.30. Apa pun alasan keterlambatannya dan apa pun gantinya jika ia terlambat hari ini ia akan mengantongi nilai E. Itu berarti semester genap berikutnya ia harus mengulang mata kuliah ini lagi. Bu Yulia lagi. Mungkin akan mendapat lagi nilai E.
Chika berkali-kali menatap arlojinya. Berharap masih ada waktu untuknya. Semoga saja Bu Yulia yang terlambat. Sebenarnya ia tahu hal seperti itu jarang terjadi. Bu Yulia satu-satunya dosen yang bersih dari jadwal keterlambatan. Belum pernah terjadi dalam sejarah kehidupannya ia terlambat masuk kelas. Kalau terlalu awal sudah jadi makanannya sehari-hari. Masuk pukul 07.30 tapi lima belas menit sebelumnya ia sudah di depan mejanya.
Keringat dingin mulai melelehi dahinya. Takut dan ngeri membayangkan nilai E yang akan ia terima pagi ini. Seharusnya ia bangun lebih pagi. Apalagi oplet pasti sesak oleh penumpang saat begini. Sepertinya sudah terlambat untuk menyesalinya. Sudah terjadi. Waktu yang tersisa tak lebih dari sepuluh menit lagi. Akhirnya oplet yang ditunggu pun datang. Ia buru-buru menyelinap dari pintu.
Oplet yang ia tumpangi bergerak lambat. Menyerupai siput yang kurang makan. Ingin rasanya menyambar setir dan menggantikan posisi sang supir. Kurus-kurus begini ia jago balap sepeda. Bahkan pernah menyandang juara tingkat kecamatan. Itu gara-gara ia kebelet ingin buang air. Akhirnya ia melarikan sepedanya sederas mungkin. Semuanya mengalir tanpa akal sehat. Kamar kecil yang menjadi fokus utama pikirannya.
Hampir pukul delapan saat ia tiba di depan pintu gerbang universitasnya. Waktunya sudah habis tapi ia tak mungkin berpaling ke belakang. Maju dengan terlambat memang menghasilkan E, tapi setidaknya ia berusaha sekuat tenaga untuk menyelesaikan ini. Ia mundur pun tak akan mengubah apa-apa. Kehadirannya akan berkurang dan nilai yang akan ia dapatkan juga E. Chika. Chika. Chika. Berlarilah sekarang! Berharaplah Bu Yulia memecahkan rekornya sendiri. Siapa tahu ia terlambat? Siapa tahu jalanan macet? Siapa tahu mobilnya mogok? Masih banyak siapa tahu lainnya yang bisa kamu munculkan. Kamu mahasiswi semester enam. Kamu bisa memikirkannya sendiri.
Chika benar-benar mengejar angin. Ia berharap masih ada harapan yang tersisa. Tak ada salahnya mencoba. Bumi masih berputar. Sebuah E bukan berarti kiamat. Tak pernah ada kata terlambat untuk mengulang mata kuliah yang sama. Bisa jadi pendalaman materi. Dengan penguasaan yang baik kemungkinan untuk dapat nilai yang tinggi bisa dalam genggaman. Ia melupakan seluruh isi dunia kecuali kelasnya dan Bu Yulia ditambah nilai E yang ia janjikan.
Napasnya terengah-engah saat ia mengetuk pintu kelasnya. Ia tak berani menatap arlojinya lagi karena ia tahu ia sudah terlambat dan semua siapa tahunya sudah menjadi debu. Bu Yulia ada di sana dengan kaca matanya. Tatapannya menusuk sampai ke kalbu. Sambil memeriksa arlojinya ia menebar senyum yang teramat sinis untuk Chika.
"Kartu hadirnya mana?"
Chika mengeluarkan selembar kartu berwarna hijau muda jemari Bu Yulia menari menuliskan sebentuk E dengan tanda minus di ujungnya. Nilai terbaik yang tersisa untuknya. Untungnya masih ada nilainya.
"Silakan keluar, saya tidak ingin Anda mengikuti mata kuliah saya semester ini. Sesuai perjanjian yang kita buat. Anda tidak perlu buang waktu lagi begitu juga dengan saya."
Suara itu berbalut es yang tebal. Butuh berapa ribu derajat celcius untuk mencairkannya?
Chika menarik kartu itu dari meja dan beringsut keluar. Ia berharap ada sedikit belas kasihan untuknya. Bu Yulia memindahkan perhatiannya pada mahasiswa yang hanya menggelengkan kepala melihat Chika yang seperti tak bosan-bosannya terlambat. Setidaknya jangan pernah terlambat di kelas Bu Yulia. Bunuh diri.
Gadis yang berambut pendek itu mengipas-ngipaskan kartu hadirnya. Berusaha mengusir keringat yang terus mengalir membasahi wajahnya. Ingin menangis, ingin berontak, ingin teriak. Ini salahnya. Tak ada gunanya melakukan hal bodoh itu. Lebih baik ia pulang dan mengisi perutnya yang masih kosong. Setelah itu ia bisa ke rumah sakit. Menjemput seseorang yang pasti telah menunggunya.
Kyana baru akan berangkat ke kantornya saat melihat Chika datang dengan wajah tak ubahnya benang yang dimainkan anak kucing. Masai. Pemandangan yang terlalu biasa dihari rabu. Kyana tahu hari ini ada dosen yang super disiplin yang mengajar. Terlambat satu detik saja sudah dapat senyum sinis yang menusuk. Apalagi satu jam. Berbeda dengan hari lainnya. Chika yang terlambat bangun pagi, siangnya akan pulang dengan setumpuk buku yang akan ia gunakan untuk mengerjakan tugas. Ganti keterlambatan yang ia selalu ia lakukan.
"Berangkat dulu ya?"
"Hati-hati."
Kyana mengangguk kecil kemudian melenggang dengan santai. Sementara Chika menghempaskan tubuhnya di ranjang dengan hati kecewa. Mungkin bukan kecewa lagi tapi kuciwa. Saking kecewanya. Berakhir sudah harapannya untuk dapat nilai baik semester ini. Hal yang makin mustahil untuk ia capai dengan rekor keterlambatan yang terlalu tinggi.
Semangkuk mie instant siap disantap di meja. Mengepulkan uap hangat yang menggoda. Chika menyalakan kipas angin di ruang tamu dan mulai menikmati mie itu sambil duduk di kursi. Menghirup kuahnya hingga tandas. Ia tak mau berlama-lama. Janjinya harus ia tepati hari ini. Ia tak boleh terlambat. Menyelesaikan makan yang terasa cukup nikmat hari ini. Perut yang kenyang sedikit mengobati kekecewaannya pada dirinya sendiri. Ia selalu membisiki kupingnya sendiri dengan kata. Tak apa-apa. Masih ada semester depan. Masih ada tahun depan. Setidaknya ia tidak didrop out toh?
Sebelum ke rumah sakit ia harus menyerahkan hasil ketikannya semalam untuk ditukarkan dengan uang. Sebuah amplop ia kantongi sebagai pengganti kerja kerasnya selama tiga hari ini. Lumayan banyak dan melebihi target yang ingin ia dapatkan. Pasti cukup untuk mengeluarkan Pak Atmo dari rumah sakit.
Rumah sakit itu terlihat tak seramai kemarin. Mungkin karena sudah banyak pasien yang pulang sehingga tak banyak penjenguk yang datang. Ia mendekati meja administrasi. Ia sudah mengenal suster yang ada di meja itu. Nina. Beberapa hari yang lalu ia pernah berurusan dengannya. Belum apa-apa suster itu sudah tersenyum padanya. Teramat manis. Begitu menyejukkan. Serasa air surga yang menjangkau bumi dengan butiran yang sangat halus. Kegersangan yang menghantui lenyap begitu saja.
"Suster, saya ingin menjemput Pak Atmo."
"Pak Atmo sudah diambil oleh orang lain beberapa menit yang lalu. Baru saja urusan administrasinya diselesaikan."
"Siapa? Dia kan tidak punya keluarga?"
"Dokter Firman yang mengambilnya. Kasihan Pak Atmo kelamaan di sini."
"Tapi saya kan sudah janji akan menjemputnya hari ini! Kenapa diserahkan sama orang lain?"
"Bukannya begitu, Pak Atmo kan bukan keluarganya Mbak. Jadi siapa pun boleh mengambil mayatnya asalkan diurus dengan layak."
"Suster tidak ngerti. Pak Atmo satu-satunya milik saya. Walaupun mayatnya yang bisa saya miliki untuk dikebumikan, itu sudah cukup kok. Saya sudah mengorbankan segalanya untuk mendapatkan Pak Atmo. Saya sudah mengumpulkan uang yang cukup untuk menguburkannya. Saya dapat nilai E karena terlambat bangun hari ini. Ini semua karena saya ingin mendapatkan uang untuk Pak Atmo."
"Tapi saya juga tidak punya wewenang untuk menghalang dokter Firman mengambilnya. Toh Pak Atmo akan dikuburkan baik-baik."
Plakk!!
Tangan Chika menerpa pipi suster cantik itu. Terjadi begitu saja. Ia kesal sekali. Teramat kesal. Nilai yang ia dapatkan sudah membuatnya kecewa sekarang kerja kerasnya untuk Pak Atmo juga tak berguna. Kuciwa sekuciwa-kuciwanya.
#***#
Lima hari sebelum kejadian paling menguciwakan dalam hidup Chika. Ia pulang kuliah sambil berjalan kaki. Hal yang sering ia lakukan kalau uang dikantong semakin menipis. Ia harus memikirkan persoalan perut yang harus diisi setiap hari. Ia sebatang pohon muda yang berusaha mempertahankan hidupnya dan meneruskan kuliah. Panti asuhan tak mampu mendapatkan orang tua asuh yang mau membiayai kehidupannya. Semenjak kecil ia hidup di antara anak panti yang tak punya orang tua sepertinya. Mungkin sebenarnya punya tapi orang tuanya yang tak menginginkan mereka.
Dari mulut pengurus panti ia tahu asal muasal ceritanya hingga ia bisa tinggal di tempat yang menampung lebih dari seratus anak itu. Malam itu hujan tanpa henti. Lebat bagai dicurahkan dari langit. Bu Heti yang menemukannya sedang melawan dinginnya malam. Ia hampir beku sesampainya dipanti. Semua pengurus panti berusaha menghangatkannya. Ia tak bersuara beberapa jam. Suaranya pun ikut membeku. Semangat dari mereka yang terus memeluknya yang membuatnya menangis menandakan masa kritisnya telah lewat. Tangis itu disambut tawa yang meriah. Bayinya hidup. Dinamai Chika. Berharap ia tumbuh sebagai gadis yang ceria dan tangguh.
Pendidikannya di SMA bisa diselesaikan juga oleh bantuan banyak pihak. Ia hampir tak kuliah karena kekurangan biaya. Setahun berjuang mengumpulkan uang. Ia berhasil mendapatkan uang untuk pendaftaran dan dengan muka yang berusaha ditebal-tebalkan ia mendapatkan pekerjaan di sebuah warnet dan jasa pengetikan. Gajinya cukup untuk membayar sewa kamar dan makan. Masalah uang semesteran ia tak begitu khawatir karena namanya sudah pasti masuk daftar penerima beasiswa untuk mahasiswa yang tidak mampu. Ongkos naik angkutan harus ia dapatkan dengan mencari tambahan lain. Mengambil jatah ketikan karyawan lain yang sibuk. Menawarkan jasa pemijatan. Apa pun ia lakukan untuk menambah isi dompetnya. Setidaknya untuk membeli buku dan pakaian setahun sekali ia mampu.
Kita lanjutkan cerita sewaktu ia pulang kuliah dengan berjalan kaki. Chika berhenti di halaman sebuah rumah sakit saat melihat seorang laki-laki renta yang duduk di kursi rodanya. Tubuhnya keriput. Matanya berair dan membasahi pipinya. Ada apa gerangan? Chika mendekatinya. Berlutut di depannya. Menyemukakan wajahnya dan wajah tua itu. Mata itu benar-benar digenangi banyak air. Tangan Chika bergerak menyeka air matanya dan memberikan sebuah senyuman. Mencoba menyelami hati laki-laki itu.
"Kakek kenapa?"
"Anak kakek…"
"Anak Kakek kenapa?"
"Sudah lama mereka tidak datang menjenguk."
Chika terdiam. Ia tak mampu memberikan kata-kata yang bisa menenangkannya. Ia sendiri tak pernah mengalami tahap sebuah keluarga yang normal. Dalam hidupnya ia membesar sebagai anak yatim piatu. Ia tak tahu perasaan kerinduan pada keluarga. Dalam pikirannya tak pernah bisa membayangkan sosok orang yang menjadi keluarganya.
Esoknya Chika sengaja datang untuk menemuinya. Ingin meredakan sedikit kedukaan yang masih merayapi hatinya. Dari suster ia mengetahui namanya Pak Atmo. Sudah beberapa bulan ini ia dirawat karena jantungnya yang lemah. Sudah beberapa hari anaknya tidak datang menjenguk. Hari ini keadaan Pak Atmo melemah. Ia tak mampu menggerakkan tubuhnya. Ia tak mau makan.
"Makan ya Kek?"
Pak Atmo menggelengkan kepalanya lemah. Chika merasa ia melihat cerminan dirinya dalam Pak Atmo. Pasti sangat kesepian. Lama-lama berubah jadi orang yang tertutup. Apalagi tak ada tempat untuk bercerita. Jemari Chika menggenggam tangan laki-laki tua itu.
"Chika mohon. Makan ya? Untuk Chika."
Sebuah anggukan kecil tercipta. Chika menyuapinya pelan-pelan sambil menceritakan kuliahnya hari itu. Pekerjaannya. Mimpinya tentang matahari. Pak Atmo tersenyum. Sebelum pulang ia mendapat ciuman di dahi dari Pak Atmo. Ciuman pertama yang ia dapat dari seorang kakek yang rasanya sudah seperti kakeknya sendiri.
Esoknya sepulang kerja Pak Atmo dikabarkan sudah meninggal dunia. Mayatnya harus diambil oleh kerabatnya sebelum lewat dari tiga hari. Chika tahu keluarganya tidak akan datang mengambilnya. Waktu masih hidup saja mereka tak peduli, apalagi sudah meninggal. Chika memutuskan untuk mengebumikan mayatnya itu dengan uangnya sendiri. Dalam waktu tiga hari asalkan ada kemauan pasti ada jalan. Ternyata semuanya tak berjalan seperti yang direncanakan sebelumnya. Nilai E dalam genggaman, Pak Atmo malah telah diambil orang.
"Saya tidak terima! Saya harus ketemu sama Firman!"
"Ada apa ini kok rebut sekali?"
Chika menyimak suara itu baik-baik seakan tak percaya. Ia berbalik memandang perempuan yang berada di belakangnya. Bu Yulia?
"Maaf Bu, ini Mbaknya tidak terima Pak Atmo diambil dokter Firman."
"Memangnya Anda masih kerabatnya si mati? Suami saya memang telah mengambil mayatnya."
"Namanya Pak Atmo, Bu."
"Iya. Saya tahu namanya, penyakitnya, sudah berapa lama berada di sini, keluarga yang tidak peduli dengannya. Yang saya tidak tahu adalah Anda."
Suster Nina kemudian meninggalkan mereka berdua.
"Saya memang bukan siapa-siapanya Pak Atmo. Saya hanya ingin kami saling memiliki. Saya tahu rasanya sendirian. Lebih menyakitkan dari semua kanker yang ada di dunia. Sangat mematikan. Saya ingin saya yang menyelesaikan hal terakhir dalam hidupnya."
"Jadi Anda mahasiswi yang kerja sambilan di warnet dan jasa pengetikan itu? Yatim piatu yang gagal dalam perkuliahan? Anda masih ingat dengan nilai yang saya berikan tadi pagi?"
"Itu tidak ada sangkut pautnya dengan Pak Atmo. Dia milik saya satu-satunya. Ibu boleh berikan seratus nilai E untuk saya. Tapi saya hanya ingin Pak Atmo dikubur dengan uang saya."
"Jadi Anda selalu terlambat datang ke kelas karena Anda bekerja dan Anda juga terlambat hari ini karena mengejar setoran untuk menguburkan mayatnya?"
"Namanya Pak Atmo."
"Maaf, mungkin saya terlalu kasar menyebutnya. Pak Atmo sering bercerita tentang Anda. Matanya benar-benar bercahaya kemarin. Seingat saya, ia mengatakan Anda menyuapinya yang tak mau makan seharian."
"Saya tidak butuh apa-apa. Saya ingin mengebumikan Pak Atmo dengan hasil jerih payah saya." Suara Chika bergetar. Ia berusaha menahan air mata yang berdesakan ingin keluar. Ia tak mampu. Butiran bening itu melorot di pipi. Tubuhnya lunglai. Ia berlulut. Merendahkan diri. Berusaha menyentuh hati seorang perempuan yang mungkin tak tahu apa-apa tentang yatim dan piatu. Wanita yang tak pernah tahu kerinduannya pada sosok seorang ibu yang telah meninggalkannya dalam hujan yang enggan mereda.
Bu Yulia mengangkatnya hingga ia berdiri. Menatap wajah yang basah itu lekat-lekat. Menghapus air matanya yang terus menderas. Chika merasa hidupnya tak berarti apa-apa. Semua yang seharusnya ia miliki menolaknya dan sekarang hal terakhir yang sangat ia inginkan pun telah dirampas. Semuanya menjadi nol. Tanpa disangka wanita itu memeluknya. Wajahnya ikut basah.
"Maaf, maaf, maaf."
Chika merasa dalam darahnya mengalir suatu perasaan yang begitu hangat. Mencairkan semua kebekuan di antara mereka.
"Ibu bisa kan mengembalikan Pak Atmo pada saya?"
"Kita kebumikannya sama-sama ya?"
"Sama-sama?"
"Pak Atmo titipin Chika sama saya. Dia bilang kamu butuh cahaya dalam hidup. Kalau tidak keberatan saya ingin menjadi cahaya dalam hidup kamu."
Sejenak mereka bertatapan sangat dalam. Mencari-cari kepastian. Chika memeluknya semakin erat.
"Mama?"
Bu Yulia mengangguk kemudian mengecup dahinya. Chika merasa dunia ini berada dalam genggamannya untuk beberapa detik. Semua yang pernah hilang kini menjadi miliknya kembali. Mungkin memang bukan sedarah. Tapi setidaknya sejiwa.
"Terus bagaimana dengan nilai Chika?"
"Kalau kamu berusaha lebih keras dan lebih giat kamu bisa dapat nilai yang lebih baik."
"Chika akan penuhin semua syarat dari Ibu, eh..Mama…Tapi nilainya berapa?"
"A+ kalau memang kamu bisa mengerjakan semua tugas pengganti dengan baik dan dapat nilai terbaik saat ujian nanti."
"Benar nih Chika boleh ikut tugas pengganti?"
"Boleh, nanti mama akan perbolehkan semua mahasiswa mengerjakan tugas pengganti sebagai perbaikan dan penambah kehadiran untuk yang sering terlambat. Terutamanya kamu."
"Seharusnya begitu. Kami sebagai mahasiswa pasti punya alasan terlambat. Bukan hanya karena kurang disiplin."
"Tapi kalau terlambat lagi awas ya?"
"Iya, Chika janji akan lebih disiplin."
"Harus disiplin, nanti kan mama yang membangunkan kamu."
"Kok bisa?"
"Tidak ada penyewaan kamar dan kerja lagi. Kamu anak tunggal mama. Harus jadi yang terbaik."
Matahariku
Saat dentangan jantung berdetak
Tangan memeluk, aku di sisimu
Saat napas kembali
Wajah tersenyum
Matahariku
Terima kasih karena kau mau terbit kembali
Aku di sini bersama sisa luka mengais cinta yang tercipta
Matahariku
Terima kasih untuk semua
Aku bahagia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar di sini :)